Sebelum memulai semua, saya awali tulisan ini dengan sebuah
permintaan maaf, bahwasanya tulisan ini akan mengalir layaknya aliran got yang
bersih. Tidak ada yang akan menghalangi setiap kata terlontar dalam tulisan
ini. Tidak sampah, tidak juga perasaan sopan atau segan yang terkadang
menjemukan. Barang siapa yang tersinggung karena disebutkan secara eksplisit
atau implisit dalam tulisan ini, maka tersinggunglah. Saya tidak menutup
kemungkinanakan adanya kritik atas tulisan ini. Namun jika mata dibalas mata,
alangkah lebih baik jika tulisan dibalas tulisan pula.
Tulisan ini bermula dari sebuah pertanyaan sederhana,
tentang kebermanfaatan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada (BEM KM UGM) bagi kepentingan mahasiswa yang jawabannya–entah
mengapa—mengarah pada ketiadaan. Demi menemukan jawaban ini, saya semacam
berkelana. Mencari opini dari satu mahasiswa ke mahasiswa lainnya, bergaul,
bercakap-cakap, serta berdiskusi. Ketika semua hasil dari pengelanaan tersebut
dirangkum, terdapat satu kata kunci yang menjadi pokok permasalahan tentang
kebermanfaatan BEM KM UGM tersebut: representasi.
Sebagai sebuah lembaga eksekutif mahasiswa tertinggi di
tataran kampus, BEM KM menaungi belasan fakultas yang memiliki lembaga sejenis.
Namanya beragam, bisa BEM, LEM (Lembaga Eksekutif Mahasiswa), atau Dema (Dewan
Mahasiswa). Namun, walaupun tiap-tiap fakultas juga memiliki lembaga eksekutif,
pemilihan Ketua BEM KM UGM bukan didapatkan dari konsensus atau mekanisme lain
dari fakultas-fakultas tersebut.
Ketua BEM KM UGM, atau yang lebih pamor disebut Presiden
Mahasiswa (Presma), didapatkan dari sebuah mekanis mepemilihan langsung yang
dicalonkan oleh lembaga lain. Lembaga tersebut bernama Partai Mahasiswa, tentu
saja tanpa melupakan calon independen nekat dengan kemungkinan menang yang
tipis. Pada titik ini, mata rantai yang menghubungkan universitas dan fakultas
bisa dikatakan terputus—atau tidak ada rantai sama sekali. Permasalahan
representasi pun dimulai.
Pertanyaan selanjutnya adalah; siapa yang diwakili oleh
Partai Mahasiswa tersebut? Apa relasi mereka pada rantai yang seharusnya
menghubungkan mahasiswa ke jurusan, lalu ke fakultas, lalu ketingkat
universitas? Suara siapa yang mereka bawa, mahasiswa atau organ eksternal
kampus?
Permasalahan representasi ini semakin diperparah dengan
hegemoni salah satu partai yang hampir mustahil ditaklukkan tanpa koalisi
besar. Tanpa prosesi kampanye sekali pun, 4.000 suara konkret mungkin ada di
tangan mereka. Semacam Golkar di zaman Orba. Lalu apakah Golkar pada zaman Orba
itu representatif? Anehnya, tidak ada koalisi besar untuk menjatuhkan partai
tersebut seperti tahun lalu. Entah karena ego, mengharapkan keajaiban, atau
karena rasa tidak puas pada koalisi yang pernah mereka canang.
Permasalahan representasi ini bukan hanya klasik apologetik
seperti buruknya kualitas aktor yang menduduki jabatan Presma, kurangnya
partisipasi, atau banyaknya jumlah mahasiswa UGM yang harus direpresentasikan.
Permasalahan ini bersifat sistemik dan mengakar. Bagaimana jika format lembaga
eksekutif yang sudah kita pakai sejak reformasi ini, adalah salah? Konklusi
sederhana ini jika ditarik ke belakang melahirkan konklusi-konklusi lain
tentang kegagalan sistem. Pemira, Pemilwa, atau mekanisme voting—apalah namanya
di tahun depan, adalah salah. Juga partai-partai mahasiswa yang menghiasi
senyuman-senyuman di baliho bulan Desember, adalah salah.
Seorang Zaki Arrobi (Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa
Fisipol 2013) pernah mengkritisi permasalahan ini dalam tulisannya, “Demokrasi
Kotak Kosong” dan Kegagalan Student Goverment. Ia mengkritisi partisipasi
mahasiswa, serta pengaplikasian Student Government oleh mahasiswa UGM. Contoh
gamblangnya dari BEM KM Fakultas MIPA pada Pemilihan Raya tahun 2013. Pemira
yang hanya mencalonkan Fadjar Mulya untuk periode 2014, dimenangi oleh sebuah
‘kotak kosong’. Singkat kata, mahasiswa MIPA pada masa itu bukan hanya bersikap
golput apatis, namun memilih untuk tidak memilih calon yang ada melalui sebuah
kotak kosong.
Kejadian lain di waktu yang sama juga menimpa Fakultas Ilmu
Budaya dan Geografi. Tidak ada satu calon pun yang mendaftarkan diri hingga
tenggat waktu awal yang ditetapkan. Kejadian ini tentu saja membuat kita
bertanya-tanya, apakah mekanisme voting seperti ini cukup legitimate dikatakan
sebagai suara mahasiswa? Hebatnya lagi, tak lama sebelum opini ini ditulis,
Fakultas Teknik juga mengalami problematika BEM yang lebih tragis. Dibubarkan.
Belum lagi tingkat partisipasi yang menyedihkan dari
pemilihan umum di tingkat universitas, tidak menyentuh angka 30 persen.
Biasanya, elitis kampus beralasan bahwa hal ini terjadi karena sikap apolitis
dan apatis mahasiswa yang melebihi kadar. Namun, mana yang lebih dahulu ada,
ayam atau telur? Mana yang lebih dahulu ada, sikap anti mahasiswa atau
ketidakbergunaan BEM KM UGM?
Mekanisme voting dengan tingkat partisipasi rendah, lalu
sosok ketua yangbagaikan one-man-army
tanpa penyeimbang, adalah telur yang lahir dari seekor ayam bernama
‘tidak representatif’. Nyatanya, lembaga eksekutif di Fisipol pernah mengalami
hal yang serupa dahulu. Namun mahasiswa Fisipol mampu berbenah ditahun 2013
dengan format baru berbentuk kolektif kolegial yang dirasa lebih representatif.
Tidak ada satu pimpinan yang berkuasa, yang ada hanyalah beberapa pimpinanyang
diambil dari konsensus masing-masing jurusan. Saling melengkapi dan
menyeimbangi. Tentu saja format Dema Fisipol masih jauh dari kata sempurna.
Namun, format seperti ini kabarnya akan diadopsi oleh Fakultas Teknik.
Lalu jika dikembalikan ke pertanyaan semula: apa guna BEM,
Pemilwa, Partai Mahasiswa, serta komponen-komponenlain yang menghiasinya?
Selain sebagai lahan berpolitik praktis tentu saja.
Opini ini ditulis sehari setelah proses Debat Calon Presiden
Mahasiswa yang diadakan di Gedung 1 Fakultas Hukum tertanggal 6 Desember 2014.
Proses debat berjalan layaknya debat calon pimpinan pada umumnya. Tentu saja
hal ihwal seperti saling sikut, saling sindir, serta usaha-usaha guna
‘mengambil hati’ menggunakan visi misi konkret atau angan-angan, menjadi
lumrah. Ada calon yang menjanjikan kartu sakti dan blusukan ala Jokowi, serta
subsidi pangan dan subsidi indekost untuk mahasiswa. Ada juga menjanjikan Soe
Hok Gie. Bahkan ada yang mengenalkan orang tuanya kepada khalayak penonton
debat.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa mekanisme demokrasi
seperti ini bermanfaat untuk mahasiswa dan kampus. Alasannya bahwa UGM adalah
kampus pertama yang memiliki partai, maka mekanisme seperti ini dianggap
sebagai keunikan tersendiri yang harus dijaga keberlangsungannya. Sarkasnya,
bukankah aspek-aspek tersebut—politik praktis, pertarungan politik, saling
sikut dan sindir, kampanye, dan sejenisnya—merupakan napas demokrasi? Bukankah
pemilihan umum yang berasaskan voting merupakan pesta demokrasi? Bukankah mahasiswa
UGM adalah calon pejabat negara, dan ajang seperti ini semata-mata hanya
pembelajaran?
Sebagai mahasiswa, kita senantiasa mengkritik praktik
politik biaya besar para elit calon dan pemimpin bangsa kita. Namun sadar atau
tidak, kita melakukan praktik demokrasi serupa, dengan baliho di mana-mana,
biaya hitungan juta, saling sikut dan mosi tidak percaya. Jangan-jangan
bukannya berdemokrasi, kita hanya sedang berhipokrit ria.
Mungkin saatnya kita kembali kepada sistem Dewan Mahasiswa
ala Prof. Koesnadi yang melegenda. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat kepada
salah satu Calon Presiden Mahasiswa yang mengusung misi senada, permasalahan
ini—sekali lagi, adalah permasalahan sistemik yang mengakar. Dibutuhkan sebuah
revolusi yang mengakar pula karena permasalahan ini—untuk kesekian kalinya,
bukan permasalahan klasik apologetik yang dapat dimaklumi begitu saja.
Silahkan tuduh saya seorang Parsonian, hingga saat ini hanya
dua solusi yang terlintas: bubarkan, atau buat lembaga tandingan. Metode
pertama, bubarkan, juga memiliki dua cara: ala Cina, atau ala Rusia. Namun
tentu saja, menunggu angin surgawi akan hadirnya seorang pahlawan yang dapat
melakukan revolusi ini adalah hal yang musykil, karena perubahan adalah karya
massa.
Kedua ide sederhana ini, bubarkan atau bentuk lembaga
tandingan, akan mendapat pertentangan dari kalangan elitis kampus. Seorang
sahabat saya mengistilahkannya sebagai fobia elitis, fobia kaum-kaum elit atas
sesuatu yang berpotensi menggoyahkan kursi kekuasaan mereka yang sudah terlanjur
nyaman. Pejabat Partai Mahasiswa juga akan menentang ide ini, karena Partai
tanpa pemilihan umum hanyalah kemandulan.
Benarlah kata Gie: “kita seolah-olah merayakan demokrasi,
tetapi memotong lidah orang-orang yang beranimenyatakan pendapat mereka yang
merugikan pemerintah.” Implementasikan kata ‘pemerintah’ yang dituturkan Gie
sebagai lembaga eksekutif, dalam taraf apa pun itu. Maka jika ada kalangan yang
masih beranggapan bahwa mekanisme lembaga universitas seperti ini masih harus
dipertahankan, baiknya ia bertanya: ia sedang memperjuangkan demokrasi, atau
sedang berhipokrit ria?
Apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran, kata
Gie dalam Catatan Seorang Demonstran. Setiap orang punya kebenaran yang
dipercaya dalam hatinya, bukan?
0 komentar:
Posting Komentar